Hai merah..
lama tak kurasa kehadiranmu!. Di petualangan kali ini kucoba bebaskan merahku dalam
sebuah perjalanan yang kusebut ekspedisi dingin. Dari namanya, bisa langsung
ditebak kan tempatnya. Hmmm, suatu tempat yang tinggi nan dingin di Sulawesi Selatan-dimana
lagi tempat yang lebih dingin dari Malino. Sebenarnya perjalanan ini merupakan kegiatan
praktikum lapangan Ekologi Tumbuhan (Ektum) yang dilaksanakan di lembah
Lembanna Malino, 20 – 22 Desember 2013. Sama sekali belum ada planning selain melakukan praktikum. Karena
ada kesempatan, seorang petualang tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu
saja tanpa meninggalkan jejak di tempat asing yang baru ia pijaki. Nah, naluri
bolangku pun menggerakkan kakiku untuk menyusuri Lembanna.
Hai Desember..
Desember memang selalu berkesan dengan hujan dan dingin. Hujan, basah, kabut
dan dingin adalah hal yang tak terpisahkan dari ekspedisi ini. I love it!. Ekspedisi dimulai saat
seseorang kakak mengajakku berkeliling, “ingin ku perlihatkan tempat – tempat yang
indah di sini?”. Ah, kakak ini juga pasti memiliki naluri bolang. Namanya kak
Tenri, ia yang akan menjadi teman bolangku selama 3 hari di Lembanna. Meski
belum sempat melepas lelah selama perjalanan yang ditempuh dari Makassar -
Malino, tanpa pikir panjang ku terima ajakannya. Karena belum mengisi ATP,
langkah kami tidak terlalu jauh dari home
stay. Kami mulai berjalan ke arah utara dan langkah kami selalu terhenti di
persimpangan. Sederhana saja, prinsip ekspedisi ini adalah “Dimana ada Persimpangan, Disitu ada
Petualangan”. Dan kami menemukan spot – spot yang menarik di setiap
persimpangan itu. Lihatlah!
Tugu rute
ekspedisi bawakaraeng
|
Tugu ini
merupakan garis start bagi para
pendaki Bawakaraeng. Diresmikan oleh Pangdam VII/Wirabuana, MAYJEN TNI Muhammad
Nizam pada tanggal 18 Mei 2013. Di bagian kiri tugu, tergambar rute pendakian
Bawakaraeng dan di bagian kanannya tertulis tata tertib selama pendakian.
Selain sebagai start pendakian
Bawakaraeng, ternyata di sini juga start pendakian
ke Ramma’. Hanya saja, rute pendakian Ramma belum tergambar. Melihat tugu ini,
rasanya benar – benar ingin mendaki sampai puncak, tapi Kapan yah?. Ah, suatu
saat pasti terwujud!.
Water-
drainase yang tersalur ke kebun dan rumah warga
|
Green-
hamparan herba, semak dan barisan pinus
|
Di kaki gunung ini, mata tak akan bosan dimanjakan oleh si hijau dan
aliran air yang mengalun merdu. Hai hijau.. gunung memang identik dengan hijau
dan limpahan air. Subhanallah..sungguh
membawa kenikmatan tersendiri bagi penikmatnya. Hasratku ingin segera mendekat
ke barisan pinus dan menemukan air terjun dari aliran air itu. Segera..tentu
saja, akan kueksekusi!. Hanya saja di awal perjalanan, kami menahan diri untuk
tidak berjalan terlalu jauh lalu kami memutar haluan dan melanjutkan perjalanan
ke arah yang berlawanan. Di persimpangan yang lain, kami menemukan padang
ilalang. Yeye..lalalala..
asyiiikkkkk..kami rehat sejenak di tengah ilalang.
Kak Tenri- berpose di tengah ilalang |
It's Me..Enjoy the sedge grass |
Perjalanan awal berakhir di padang ilalang, setelah menyadari bahwa langkah
kami sudah cukup jauh dan ‘kampung tengah’ mulai gaduh oleh suara yang belum
dipenuhi haknya, kami putuskan untuk kembali ke home stay. Momen yang tepat, makan siang telah tersedia.
Terimakasih untuk kedua sahabatku, Yana dan Deby yang menyisihkan makan siang
untuk kami berdua. Betapa banyak hal –
hal menarik yang kujumpai daripada sekadar duduk menunggu makan siang,
bisikku dalam hati. :D
Beberapa menit setelah makan siang, kakak – kakak asisten menyuruh kami
bersiap – siap untuk simulasi. Wah, ini artinya mendaki. Secara mental, saya
siap. Namun secara fisik, saya khawatir perutku akan sedikit terguncang karena
baru saja terisi. Ternyata benar, belum jauh melangkah, perutku mulai sakit dan
saya mulai mual. Saya berusaha menahannya, memberikan sugesti positif pada
diriku, all is well. Permen
alpenliebe dan Nano – nano tak hentinya ku kunyah sepanjang pendakian. Alhamdulillah, perlahan seiring
perjalananku, kondisiku mulai membaik. Baru ku sadari setelah pikiranku tidak
terfokus lagi dengan perut dan mual, ternyata saya sudah dekat dengan barisan
pinus yang kulihat tadi. Senangnya.. misi untuk dekat dengan pinus tercapai
secepat ini dan saya bisa menepati janjiku kepada seseorang untuk membawa
pulang satu strobilus pinus.
Perjalanan terhenti di ketinggian sekitar 1760 m dari garis start. Di sinilah pos 1 bayangan dan di
sini pula lokasi transek untuk kelas ICP. Lokasi transek cukup menantang karena
banyak semak liar yang tumbuh tinggi dan menutupi jalan untuk membuat plot.
Kesimpulannya, besok harus menyediakan parang untuk membuka jalan di setiap
transek. Saya belum puas berhenti di sini. Ketika yang lain memilih berhenti,
ada pula beberapa yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga pos 1
yang jaraknya masih sekitar 800 m lagi. Yah, saya pilih option 2: Go ahead to pos 1 :). Yang lebih menyenangkan karena
sahabatku melangkah bersamaku. Yana punya tekad kuat untuk mendaki lebih jauh.
Meski sempat beberapa kali terjatuh, ia tak patah semangat. Debi punya stamina
yang bagus dan sangat tenang dalam melangkah. Kak Tenri, teman bolangku tetap
saja ia yang terdepan, langkahnya yang paling semangat, seakan ia yang memimpin
petualangan ini. Kami saling menyemangati. Ah, tiba – tiba saja saya merasa
berada di drama film 5 cm. Ckkck..:D.
Hari semakin sore, kabut dan rintik hujan mulai menyapa, jalan terjal semakin
licin dan kami kembali ke home stay dengan
berjuta rasa gembira yang mengalahkan lelah dan kerasnya alam yang telah membekaskan
sakit di telapak – telapak kaki yang belum terbiasa menapakinya.
Saya berencana untuk tidur lebih awal karena esok adalah kegiatan inti dari
praktikum Ektum. Namun, ada saja magnet yang menarikku keluar yang mengulur
waktu tidurku. Saya penasaran dengan malam di Lembanna, saya penasaran dengan
langit. Awalnya, ku lihat langit dibalut kabut dan perlahan mulai tersingkap.
Bintang utara mulai menampakkan dirinya, kilauannya tetap mengalahkan bintang –
bintang yang lain. Rasi bintang waluku tak mau kalah eksis dan yang tak kalah
menarik lintasan bintang berekor menjadi hiasan terindah malam ini. Maha suci
Allah Pemilik kerajaan langit dan bumi yang menjadikan siang dan malam silih
berganti.
Malam semakin dingin, suhunya bahkan mengalahkan dinginnya AC. Pilihan terbaik
adalah membungkus diri dalam sleeping
bag. Meski kantuk mendera, raga belum bisa tertidur karena dingin seakan
menusuk hingga ke tulang iga padahal saya tak mampu membalikkan badan karena
sempit. Teori untuk bersempit – sempit ria agar memperoleh kehangatan nampaknya
tak berlaku di sini. Saya sempat berpindah 2 kali untuk menemukan tempat yang
tepat agar bisa tertidur. Pukul 04.00 saya terbangun dan mulai mempersiapkan
diri untuk mengecap dinginnya air dengan suhu seperti di dalam freezer. Entah mandi di jam ini adalah
keputusan yang tepat atau tidak, yang
jelas ini satu – satunya cara untuk menghindari antre di saat setiap orang
memiliki keinginan untuk mandi di waktu yang sama. Brrrr,,..freezz..seakan kamar mandi berubah jadi freezer, dingin dan suhu tubuhku
berkontraksi mengeluarkan uap dari pori – pori kulitku. Ternyata, dinginnya tak
berlangsung lama. Setelah dingin berlalu, kurasakan kesegaran bagi sel – sel tubuhku
yang telah beregenerasi.
Pukul 05.15 pagi saya siap berekspedisi bersama kak Tenri dan seorang
temanku, Tari. Suhu mulai meningkat,
udara tak sedingin semalam atau tadi subuh. Udara pagi ini terasa seperti O2
murni yang menyegarkan paru – paru. Lagi, langkah kami terhenti di
persimpangan. Bagiku, persimpangan akan selalu menjadi gerbang petualangan.
Persimpangan kali ini cukup menanjak dan membawa kami pada ketinggian. Hamparan
panorama alam dapat dinikmati di titik ini.
Kak Tenri (kiri), Tari (kanan)-menikmati Panorama alam Lembanna |
Panorama alam Lembanna
|
Kami
hampir lupa waktu, kami harus bergegas ke home
stay untuk mempersiapkan perlengkapan pendakian dan praktikum. Pukul 07.00,
pendakian pun dimulai. Medan kali ini sangat licin, saya harus lebih berhati –
hati. Saking licinnya ada beberapa teman yang terjatuh. Sekitar 30 menit waktu
tempuh, kami tiba di lokasi transek. Di kelasku, ada 3 kelompok untuk 3
transek, kelompokku yang paling sedikit anggotanya, hanya 4 orang, tidak jauh –
jauh dari Deby, Yana dan Kak Tenri. Kelasku, oh kelasku.. tanpa pembagian
kelompok, kelompok kami telah terbagi. Karena kekurangan tali untuk membuat plot, kelompokku menunggu hingga ada
kelompok lain yang telah menyelesaikan transeknya. Yana dan Debi asyik duduk
bercerita sambil menunggu sementara itu, kak Tenri merasa tidak nyaman bila
hanya menunggu, diam dan tidak melakukan apa – apa. Sudah ku duga, ia ingin
melakukan sesuatu. Ia kemudian mengungkapkan apa yang ingin ia lakukan, “Nin,
saya penasaran dengan yang dikatakan kak Arman”. “Apa itu, kak?” tanyaku dengan
nada yang lebih penasaran. “Sungai...kalau kita berjalan lurus dari tempat
transek, katanya kita akan menemukan sungai!”. Kami saling menatap dan
memantapkan tekad, tanpa basa – basi kami beranjak dari tempat duduk dan mulai
menelusuri jalan kecil yang tertutupi semak. Kak Tenri tepat di depanku, ia
sangat hati – hati melangkah dan memperhatikan setiap jejak yang terprint di tanah. “Sepertinya hanya ada
jejak sapi dan manusia, aman Nin” kak Tenri meyakinkan dan menepis raguku untuk
melangkah. Sesekali terdengar suara asing yang mencekam langkah kami, tapi tak
kami hiraukan. Suara aliran air semakin dekat,
memanggil kami mendekat. Di ujung jalan yang sempit kami temukan
hamparan alam nan luas dari tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya, di bawah
sana...dari kejauhan kami melihat aliran sungai yang panjang. Finally, that’s the river!
Aliran sungai terlihat dari kejauhan |
Sayang sekali belum sempat merapat ke sungai, hujan mencegat langkah kami
lebih dulu. Hmm,.ini artinya kami harus kembali ke lokasi transek.
Beruntungnya, setiba di tempat transek satu kelompok telah selesai dengan
transeknya jadi kami tidak perlu berlama – lama menunggu. Hujan semakin deras, sekujur tubuhku basah.
Kedua sahabatku mengejekku karena banyak alasan yang telah kuutarakan sebelum
berangkat untuk tidak membawa jas hujan. Jaket levis yang kukenakan semakin
berat dan dinginnya air hujan serta angin gunung yang berhembus membuat kulit
telapak tangan dan kakiku mengeriput kedinginan sementara rambut di permukaan
epidermisku mulai merespon folikelnya untuk tegap. Ya Allah.. saya benar – benar kedinginan, keluhku dalam hati. Hanya
satu yang bisa kulakukan saat itu untuk mengacuhkan rasa dinginku-bergerak. Yup,.
Walau hujan kami tetap mengerjakan transek. Beruntungnya kak Rukman, Adi dan
kak Farid juga turut membantu kami. Meski hanya 7 orang yang mengerjakan
transek, ternyata transek dapat selesai sekitar 30 menit. Kami menemukan
vegetasi semak, herba dan pohon yang bervariasi di tempat ini. Puluhan spesies
terekam dalam catatan kami dan yang mendominasi adalah semak dan herba. Kompetisi
antara semak dan herba adalah seni yang diperlihatkan alam padaku. Mungkinkah
hukum alam juga berlaku pada keduanya?. Setelah menyelesaikan dokumentasi
spesies pada setiap plot, kami kembali ke home
stay. Seperti dugaanku, teman – temanku yang lain telah sampai duluan dan
mereka terlihat hangat. Ah, Mungkin karena hujan, mereka bergegas pulang dan tidak menunggu kami (anggap saja begitu).
Saat hujan mulai reda, kak Tenri merencanakan ekspedisi selanjutnya. Kali
ini, Yana dan Debi juga ikut, eh ditambah lagi satu personil dari ICP B, namanya
Anti. Hmm,,. Sepertinya kali ini akan jadi jalan – jalan santai saja. Tapi
tidak apa – apa, bersama mereka, akan kunikmati sore gembira :). Di ujung jalan
sebuah persimpangan kami terkesima oleh keelokan kabut tebal yang menyelimuti
hijaunya alam Lembanna. Kami berdiri sejenak menikmatinya lalu mengabadikan
momen dengan latar kabut. Di kemudian hari,
saat saya merindukan kebersamaan ini akan ku lihat kembali wajah – wajah
kalian dan ku katakan, “we had ever been
here, guys ;)”
Lembanna Berselimut Kabut |
Kak Tenri-Yana-Debby-Anti-Ninda |
Together-Debby-Yana-Ninda-Anti-Kak Tenri |
#To be continued...^__^
0 komentar:
Posting Komentar