Rabu, 29 Januari 2014

Ekspedisi Dingin (Part I)

Hai merah.. lama tak kurasa kehadiranmu!. Di petualangan kali ini kucoba bebaskan merahku dalam sebuah perjalanan yang kusebut ekspedisi dingin. Dari namanya, bisa langsung ditebak kan tempatnya. Hmmm, suatu tempat yang tinggi nan dingin di Sulawesi Selatan-dimana lagi tempat yang lebih dingin dari Malino. Sebenarnya perjalanan ini merupakan kegiatan praktikum lapangan Ekologi Tumbuhan (Ektum) yang dilaksanakan di lembah Lembanna Malino, 20 – 22 Desember 2013. Sama sekali belum ada planning selain melakukan praktikum. Karena ada kesempatan, seorang petualang tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak di tempat asing yang baru ia pijaki. Nah, naluri bolangku pun menggerakkan kakiku untuk menyusuri Lembanna.

Hai Desember.. Desember memang selalu berkesan dengan hujan dan dingin. Hujan, basah, kabut dan dingin adalah hal yang tak terpisahkan dari ekspedisi ini. I love it!. Ekspedisi dimulai saat seseorang kakak mengajakku berkeliling, “ingin ku perlihatkan tempat – tempat yang indah di sini?”. Ah, kakak ini juga pasti memiliki naluri bolang. Namanya kak Tenri, ia yang akan menjadi teman bolangku selama 3 hari di Lembanna. Meski belum sempat melepas lelah selama perjalanan yang ditempuh dari Makassar - Malino, tanpa pikir panjang ku terima ajakannya. Karena belum mengisi ATP, langkah kami tidak terlalu jauh dari home stay. Kami mulai berjalan ke arah utara dan langkah kami selalu terhenti di persimpangan. Sederhana saja, prinsip ekspedisi ini adalah “Dimana ada Persimpangan, Disitu ada Petualangan”. Dan kami menemukan spot – spot yang menarik di setiap persimpangan itu. Lihatlah!
Tugu rute ekspedisi bawakaraeng
Tugu ini merupakan garis start bagi para pendaki Bawakaraeng. Diresmikan oleh Pangdam VII/Wirabuana, MAYJEN TNI Muhammad Nizam pada tanggal 18 Mei 2013. Di bagian kiri tugu, tergambar rute pendakian Bawakaraeng dan di bagian kanannya tertulis tata tertib selama pendakian. Selain sebagai start pendakian Bawakaraeng, ternyata di sini juga start pendakian ke Ramma’. Hanya saja, rute pendakian Ramma belum tergambar. Melihat tugu ini, rasanya benar – benar ingin mendaki sampai puncak, tapi Kapan yah?. Ah, suatu saat pasti terwujud!. 

Water- drainase yang tersalur ke kebun dan rumah warga

Green- hamparan herba, semak dan barisan pinus
Di kaki gunung ini, mata tak akan bosan dimanjakan oleh si hijau dan aliran air yang mengalun merdu. Hai hijau.. gunung memang identik dengan hijau dan limpahan air. Subhanallah..sungguh membawa kenikmatan tersendiri bagi penikmatnya. Hasratku ingin segera mendekat ke barisan pinus dan menemukan air terjun dari aliran air itu. Segera..tentu saja, akan kueksekusi!. Hanya saja di awal perjalanan, kami menahan diri untuk tidak berjalan terlalu jauh lalu kami memutar haluan dan melanjutkan perjalanan ke arah yang berlawanan. Di persimpangan yang lain, kami menemukan padang ilalang. Yeye..lalalala.. asyiiikkkkk..kami rehat sejenak di tengah ilalang.



Kak Tenri- berpose di tengah ilalang
It's Me..Enjoy the sedge grass
Perjalanan awal berakhir di padang ilalang, setelah menyadari bahwa langkah kami sudah cukup jauh dan ‘kampung tengah’ mulai gaduh oleh suara yang belum dipenuhi haknya, kami putuskan untuk kembali ke home stay. Momen yang tepat, makan siang telah tersedia. Terimakasih untuk kedua sahabatku, Yana dan Deby yang menyisihkan makan siang untuk kami berdua. Betapa banyak hal – hal menarik yang kujumpai daripada sekadar duduk menunggu makan siang, bisikku dalam hati. :D

Beberapa menit setelah makan siang, kakak – kakak asisten menyuruh kami bersiap – siap untuk simulasi. Wah, ini artinya mendaki. Secara mental, saya siap. Namun secara fisik, saya khawatir perutku akan sedikit terguncang karena baru saja terisi. Ternyata benar, belum jauh melangkah, perutku mulai sakit dan saya mulai mual. Saya berusaha menahannya, memberikan sugesti positif pada diriku, all is well. Permen alpenliebe dan Nano – nano tak hentinya ku kunyah sepanjang pendakian. Alhamdulillah, perlahan seiring perjalananku, kondisiku mulai membaik. Baru ku sadari setelah pikiranku tidak terfokus lagi dengan perut dan mual, ternyata saya sudah dekat dengan barisan pinus yang kulihat tadi. Senangnya.. misi untuk dekat dengan pinus tercapai secepat ini dan saya bisa menepati janjiku kepada seseorang untuk membawa pulang satu strobilus pinus. Perjalanan terhenti di ketinggian sekitar 1760 m dari garis start. Di sinilah pos 1 bayangan dan di sini pula lokasi transek untuk kelas ICP. Lokasi transek cukup menantang karena banyak semak liar yang tumbuh tinggi dan menutupi jalan untuk membuat plot. Kesimpulannya, besok harus menyediakan parang untuk membuka jalan di setiap transek. Saya belum puas berhenti di sini. Ketika yang lain memilih berhenti, ada pula beberapa yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga pos 1 yang jaraknya masih sekitar 800 m lagi. Yah, saya pilih option 2: Go ahead to pos 1 :). Yang lebih menyenangkan karena sahabatku melangkah bersamaku. Yana punya tekad kuat untuk mendaki lebih jauh. Meski sempat beberapa kali terjatuh, ia tak patah semangat. Debi punya stamina yang bagus dan sangat tenang dalam melangkah. Kak Tenri, teman bolangku tetap saja ia yang terdepan, langkahnya yang paling semangat, seakan ia yang memimpin petualangan ini. Kami saling menyemangati. Ah, tiba – tiba saja saya merasa berada di drama film 5 cm. Ckkck..:D. Hari semakin sore, kabut dan rintik hujan mulai menyapa, jalan terjal semakin licin dan kami kembali ke home stay dengan berjuta rasa gembira yang mengalahkan lelah dan kerasnya alam yang telah membekaskan sakit di telapak – telapak kaki yang belum terbiasa menapakinya.

Saya berencana untuk tidur lebih awal karena esok adalah kegiatan inti dari praktikum Ektum. Namun, ada saja magnet yang menarikku keluar yang mengulur waktu tidurku. Saya penasaran dengan malam di Lembanna, saya penasaran dengan langit. Awalnya, ku lihat langit dibalut kabut dan perlahan mulai tersingkap. Bintang utara mulai menampakkan dirinya, kilauannya tetap mengalahkan bintang – bintang yang lain. Rasi bintang waluku tak mau kalah eksis dan yang tak kalah menarik lintasan bintang berekor menjadi hiasan terindah malam ini. Maha suci Allah Pemilik kerajaan langit dan bumi yang menjadikan siang dan malam silih berganti.

Malam semakin dingin, suhunya bahkan mengalahkan dinginnya AC. Pilihan terbaik adalah membungkus diri dalam sleeping bag. Meski kantuk mendera, raga belum bisa tertidur karena dingin seakan menusuk hingga ke tulang iga padahal saya tak mampu membalikkan badan karena sempit. Teori untuk bersempit – sempit ria agar memperoleh kehangatan nampaknya tak berlaku di sini. Saya sempat berpindah 2 kali untuk menemukan tempat yang tepat agar bisa tertidur. Pukul 04.00 saya terbangun dan mulai mempersiapkan diri untuk mengecap dinginnya air dengan suhu seperti di dalam freezer. Entah mandi di jam ini adalah keputusan yang tepat atau tidak,  yang jelas ini satu – satunya cara untuk menghindari antre di saat setiap orang memiliki keinginan untuk mandi di waktu yang sama. Brrrr,,..freezz..seakan kamar mandi berubah jadi freezer, dingin dan suhu tubuhku berkontraksi mengeluarkan uap dari pori – pori kulitku. Ternyata, dinginnya tak berlangsung lama. Setelah dingin berlalu, kurasakan kesegaran bagi sel – sel tubuhku yang telah beregenerasi.

Pukul 05.15 pagi saya siap berekspedisi bersama kak Tenri dan seorang temanku, Tari.  Suhu mulai meningkat, udara tak sedingin semalam atau tadi subuh. Udara pagi ini terasa seperti O2 murni yang menyegarkan paru – paru. Lagi, langkah kami terhenti di persimpangan. Bagiku, persimpangan akan selalu menjadi gerbang petualangan. Persimpangan kali ini cukup menanjak dan membawa kami pada ketinggian. Hamparan panorama alam dapat dinikmati di titik ini.
 
Kak Tenri (kiri), Tari (kanan)-menikmati Panorama alam Lembanna

Panorama alam Lembanna
Kami hampir lupa waktu, kami harus bergegas ke home stay untuk mempersiapkan perlengkapan pendakian dan praktikum. Pukul 07.00, pendakian pun dimulai. Medan kali ini sangat licin, saya harus lebih berhati – hati. Saking licinnya ada beberapa teman yang terjatuh. Sekitar 30 menit waktu tempuh, kami tiba di lokasi transek. Di kelasku, ada 3 kelompok untuk 3 transek, kelompokku yang paling sedikit anggotanya, hanya 4 orang, tidak jauh – jauh dari Deby, Yana dan Kak Tenri. Kelasku, oh kelasku.. tanpa pembagian kelompok, kelompok kami telah terbagi. Karena kekurangan tali untuk  membuat plot, kelompokku menunggu hingga ada kelompok lain yang telah menyelesaikan transeknya. Yana dan Debi asyik duduk bercerita sambil menunggu sementara itu, kak Tenri merasa tidak nyaman bila hanya menunggu, diam dan tidak melakukan apa – apa. Sudah ku duga, ia ingin melakukan sesuatu. Ia kemudian mengungkapkan apa yang ingin ia lakukan, “Nin, saya penasaran dengan yang dikatakan kak Arman”. “Apa itu, kak?” tanyaku dengan nada yang lebih penasaran. “Sungai...kalau kita berjalan lurus dari tempat transek, katanya kita akan menemukan sungai!”. Kami saling menatap dan memantapkan tekad, tanpa basa – basi kami beranjak dari tempat duduk dan mulai menelusuri jalan kecil yang tertutupi semak. Kak Tenri tepat di depanku, ia sangat hati – hati melangkah dan memperhatikan setiap jejak yang terprint di tanah. “Sepertinya hanya ada jejak sapi dan manusia, aman Nin” kak Tenri meyakinkan dan menepis raguku untuk melangkah. Sesekali terdengar suara asing yang mencekam langkah kami, tapi tak kami hiraukan. Suara aliran air semakin dekat,  memanggil kami mendekat. Di ujung jalan yang sempit kami temukan hamparan alam nan luas dari tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya, di bawah sana...dari kejauhan kami melihat aliran sungai yang panjang. Finally, that’s the river!
Aliran sungai terlihat dari kejauhan
Sayang sekali belum sempat merapat ke sungai, hujan mencegat langkah kami lebih dulu. Hmm,.ini artinya kami harus kembali ke lokasi transek. Beruntungnya, setiba di tempat transek satu kelompok telah selesai dengan transeknya jadi kami tidak perlu berlama – lama menunggu.  Hujan semakin deras, sekujur tubuhku basah. Kedua sahabatku mengejekku karena banyak alasan yang telah kuutarakan sebelum berangkat untuk tidak membawa jas hujan. Jaket levis yang kukenakan semakin berat dan dinginnya air hujan serta angin gunung yang berhembus membuat kulit telapak tangan dan kakiku mengeriput kedinginan sementara rambut di permukaan epidermisku mulai merespon folikelnya untuk tegap. Ya Allah.. saya benar – benar kedinginan, keluhku dalam hati. Hanya satu yang bisa kulakukan saat itu untuk mengacuhkan rasa dinginku-bergerak. Yup,. Walau hujan kami tetap mengerjakan transek. Beruntungnya kak Rukman, Adi dan kak Farid juga turut membantu kami. Meski hanya 7 orang yang mengerjakan transek, ternyata transek dapat selesai sekitar 30 menit. Kami menemukan vegetasi semak, herba dan pohon yang bervariasi di tempat ini. Puluhan spesies terekam dalam catatan kami dan yang mendominasi adalah semak dan herba. Kompetisi antara semak dan herba adalah seni yang diperlihatkan alam padaku. Mungkinkah hukum alam juga berlaku pada keduanya?. Setelah menyelesaikan dokumentasi spesies pada setiap plot, kami kembali ke home stay. Seperti dugaanku, teman – temanku yang lain telah sampai duluan dan mereka terlihat hangat. Ah, Mungkin karena hujan, mereka bergegas pulang  dan tidak menunggu kami (anggap saja begitu).

Saat hujan mulai reda, kak Tenri merencanakan ekspedisi selanjutnya. Kali ini, Yana dan Debi juga ikut, eh ditambah lagi satu personil dari ICP B, namanya Anti. Hmm,,. Sepertinya kali ini akan jadi jalan – jalan santai saja. Tapi tidak apa – apa, bersama mereka, akan kunikmati sore gembira :). Di ujung jalan sebuah persimpangan kami terkesima oleh keelokan kabut tebal yang menyelimuti hijaunya alam Lembanna. Kami berdiri sejenak menikmatinya lalu mengabadikan momen dengan latar kabut. Di kemudian hari,  saat saya merindukan kebersamaan ini akan ku lihat kembali wajah – wajah kalian dan ku katakan, “we had ever been here, guys ;)”

Lembanna Berselimut Kabut

Kak Tenri-Yana-Debby-Anti-Ninda

Together-Debby-Yana-Ninda-Anti-Kak Tenri

#To be continued...^__^

0 komentar:

Posting Komentar