Rabu, 29 Januari 2014

Ekspedisi Dingin (Part II)

Sesi praktikum selesai..eitz, bukan berarti ekspedisi juga selesai, masih banyak persimpangan yang mengundang penasaran. Karena hari semakin petang, untuk hari kedua ini, dicukupkan saja sampai jalan – jalan sore. “Sebentar malam bagusnya bikin apa, ya?” tanya kak Tenri padaku. Saya sama sekali tidak ada ide, saya hanya ingin lekas tidur, pikirku dalam hati. Saat itu, saya kemudian mengerti satu hal pada pribadi teman bolangku ini, “bukan kak Tenri namanya kalau hanya diam atau membuang waktu untuk hal – hal yang tidak bermanfaat, there should always be something good to do”. Belum sempat saya merespon pertanyaannya, ia kemudian melanjutkan perkataannya, “aha.. bikin bakwan saja, di sini kan melimpah bahan – bahannya”. Brilliant..walau sore itu hujan dan baru saja kami–Saya, Yana, Debi dan Anti–berlari dari ‘kejaran hujan’  tanpa pikir panjang, kami menyetujui dan menerobos hujan dengan ‘perisai hujan’. Bahan – bahan untuk membuat bakwan akhirnya didapatkan dengan beberapa langkah kecil saja dari homestay, ada kol, wortel, tomat, daun bawang dan bawangnya. Ini rekomendasi yang pas bagi pelancong yang berkunjung ke Lembanna, dijamin rugi deh..kalau nda sempat mengecap sayur mayur di sini.hihih.. 


Setelah semua bahannya lengkap, segera ku ajak teman – teman yang lain turun tangan membuat bakwan, mereka menyambut ajakanku dengan senang hati. Kebersamaan yang ku nanti mulai memutus sebagian simpul tali kerenggangan. Tawa ku malam itu tidak lagi triosentrik (kepada debi, yana dan kak Tenri). Mereka, teman – temanku..mulai berbagi canda dan tawa kepada kami. Lalu, akhirnya saya bisa menulis di sini, sebuah kenangan manis tentang malam gembira bersama teman – temanku. Di depan perapian penggorengan bakwan kami mencipta kebersamaan dan kehangatan yang tidak biasa tercipta di hari – hari lain. Terimakasih teman, ku harap kebersamaan ini tidak cepat berlalu. Belum selesai kami menggoreng bakwan, sudah ada panggilan dari kakak asisten untuk berkumpul di ruang utama. Pikirku, akan ada evaluasi atau kegiatan lanjutan dari praktikum. Ternyata, schedule-nya malam gembira. Sejumlah games antarkelas dimainkan, tawa pun terpecah membelah heningnya malam Lembanna. Sungguh mengesankan, baru kali ini ku rasakan praktikum yang benar – benar relax tanpa tendensi jadwal dan tugas padat untuk segera menyelesaikan praktikum. Terimakasih yang tak hingga ku haturkan kepada dosen penanggung jawab Ekologi Tumbuhan, Ayahanda Wiharto. What an incredible experience, sir!

Di saat kita mulai terbiasa di tempat yang baru, saat itu pula kita tak ingin beranjak dari tempat itu. Begitu pula yang ku rasa di sini. Ya, saya mulai terbiasa dengan dingin, embun, malam dan pagi Lembanna. Seperti ingin menghabiskan waktu lebih lama di tempat ini. Namun nyatanya, hari ini hari terakhir di Lembanna. Baiklah, saya tak ingin terpuruk atas keinginan yang menentang kenyataan, hari terakhir ini harus maksimal. Akan kujejakkan kakiku untuk persimpangan yang masih membuatku penasaran. Tujuan pertamaku adalah air terjun. Ternyata sudah banyak teman – teman yang mendahuluiku. Rombangan pertama telah berangkat pagi – pagi sekali. Teman bolangku, Kak Tenri juga ada di rombangan itu. Saya, Debi, Yana dan teman – teman yang lain (rombongan ke-2) menyusul rombongan pertama menuju air terjun. Awalnya, kedua sahabatku merasa ragu karena mereka diberitahu bahwa air terjun berada di atas pos 1. “Kalau harus mendaki lagi, saya pulang” tutur Yana padaku. “Kita harus memastikan dimana air terjunnya, saya tidak yakin akan sejauh itu”. Begitulah yang kukatakan pada Yana dan teman – temanku yang lain untuk meyakinkan agar hari ini kita bisa menyusul rombongan pertama dan menikmati riak air terjun. Malu bertanya, sesat di jalan. Karena saya tak ingin tersesat, maka saya bertanya. Saya bertanya kepada salah seorang warga yang sedang menebang pohon. “Kalau mau ke air terjun, lewat mana ya, pak?”. “Dari sini, belok kiri dan lurus sampai dapat air terjun”. aha,, menarik. Persimpangan itu telah kulirik sejak awal. Kami menelusuri persimpangan yang mengantar kami menuju air terjun. Tada,,, This is it.. Water fall.
In front of water fall-Kak Tenri-Yana-Debby-Ninda
Kak Tenri sudah tiba duluan di tempat ini. Hihihi. Senang sekali, bisa bersama – sama di sini. Riak air terjun sungguh  menenangkan hati, menyentuh hingga ke sanubari. Kami berdiri lebih dekat menikmati percikan air terjun. Finally, Mission complete. Kami kembali membawa kepuasan rasa bernama ketenangan. Akankah kutemukan lagi ketenangan di persimpangan yang lain?.


Pukul 08.30 WITA. Waktu kami tersisa satu setengah jam lagi. Pukul sepuluh nanti mobil akan tiba di sini. Kak Tenri membisikkan sesuatu padaku, “Nin.. masih ada satu persimpangan yang membuatku penasaran.” “Dimana itu kak?,” jawabku makin penasaran. “Ada persimpangan lagi saat kita menemukan ilalang,” tambah kak Tenri. Baiklah jangan biarkan rasa penasaran ini membayangi sampai ke Makassar. Walau saat itu hujan, kami tetap berangkat. Jas hujan, kamera, Hp, itulah benda yang menjadi bekal ekspedisi terakhir ini. Sebelum berangkat seorang temanku bertanya pada kak Tenri, “mau kemana kak?”. “Mencari ketenangan”. “Suatu tempat yang belum pernah terjamah”, tambahku. Entah mengapa, 2 hal inilah yang ter-mindset di pikiran kami. Inilah awal persimpangan itu:

Initial Intersection
Dengan berjalan lurus, kami menemukan persimpangan lagi..ini dia:
Mistify Intersection
Kami memilih tikungan ke kiri lalu melanjutkan perjalanan menapaki jalan setapak. Hihihi.. Betul – betul nekad, lihatlah betapa kami menepis hujan, dingin dan tamparan angin kencang yang sesekali membuat jantungku berdebar.

Feels Like wanna Fly-Kak Tenri
I'm scare with this strong blowing wind -Ninda
Kami masih saja berjalan. Entah apa yang membuat kami senekad ini bahkan tak pernah terpikir untuk berbalik sebelum kami menemukan ujung dari persimpangan yang telah kami lalui. Bagi kami, ujung persimpangan bagaikan misteri dari sebuah rasa penasaran. Tak jarang kami mengeluarkan ‘pertanyaan misteri’ seperti “Apa yah di ujung jalan ini?” atau “akankah kita menemukan sesuatu yang indah?”. Rasanya ‘pertanyaan misteri’ itu menjadi stimulus anti henti. It works..Kami berhenti, yupp..langkah kami baru saja terhenti. Coba tebak, kami telah sampai di ujung persimpangan. Kami berhenti sejenak dan berpikir. Tantangan baru muncul dan menggantung 5cm di depan mata, lihatlah di ujung persimpangan ini kami dihadapkan hal  - hal misterius lagi. Ada Pagar silang yang berjejer dan sebuah bukit terlihat di belakang jejeran pagar itu. Kak Tenri memeriksa jam Hpnya. Ternyata sudah setengah sepuluh. Kami ingin ke bukit itu, rasanya seperti selangkah lagi untuk sampai ke sana.  Lalu kami membuat kesepakatan dengan mengaktifkan alarm jam 10. “Bila alarm berbunyi dan kita belum sampai di bukit itu, berarti kita harus bergegas kembali. Melangkah ke bukit itu berarti kita berani mengambil resiko apa pun termasuk ketinggalan bus”.

A mysterious hill
Bismillah.. kami mulai melangkah. Sepertinya tempat ini sangat jarang terjamah. Rumputnya sangat tinggi dan tidak ada bekas jejak menuju bukit itu. Saya mulai bernapas lega saat berada  di antara  pagar silang sementara alarm belum berbunyi.  Dari pagar silang, saya bisa mengetahui kalau tempat ini adalah kebun yang tidak lagi difungsikan, saya sulit mengidentifikasi kebun apa karena tidak ada lagi tanaman yang tumbuh di dalam pagar silang. Satu hal yang pasti..dari sini, bukit misterius semakin dekat dan kami juga melangkah dengan pasti, akhirnya kami sampai di kaki bukit. Aman,, alarm belum berbunyi..  sekitar 50 kaki dari kaki bukit, kami sampai di puncak bukit. Bukit ini hanya ditumbuhi spesies Pteridophyta (paku – pakuan). Kak Tenri memberinya nama ‘Bukit Paku’. Lalu, Tiba – tiba saja kabut putih mengelilingi bukit. Kami seakan terperangkap, tak tahu harus kemana. Kini, seperti berada dekat dengan awan dan kunamakan ‘Bukit Awan’. 
Watch the video documentation of 'Bukit Paku' in this link:  http://www.youtube.com/watch?v=Hod_8T_Dccw

Unbelieveable! Like I reach the cloud-Ninda

There's nothing! Only Green and White-Kak tenri
Anehnya, kabut hanya menyelubungi bagian pinggir bukit dan bagian tengahnya sama sekali jernih tak berkabut, sehingga selubung kabut mengikuti bentuk bukit yang menyerupai setengah lingkar bola. Kami berada di tengah menyaksikan fenomena ini. Entah ini disebut langka atau kami saja yang baru menyaksikannya, entahlah. Saya bersyukur karena dapat menikmatinya. Sempat terlintas rasa takut karena kabutnya semakin tebal, sementara itu, kami harus kembali ke home stay karena 15 menit lagi jam 10. Tanpa ragu, kami menerobos kabut tebal. Kami dengan mudah menemukan jalan pulang karena satu – satunya jejak yang berbekas adalah langkah kami sebelumnya saat menuju bukit itu dan kami juga menghapal jalan yang telah kami lewati sebelumnya. Alhamdulillah. Jam 10.20 WITA, kami tiba di home stay. Mobil pun sudah tiba tapi beruntung rombongan belum berangkat karena masih menunggu mobil angkutan yang lain. Sungguh berkesan menit – menit terakhir yang sangat berharga. Ekspedisi yang kurang dari 120 menit, membuahkan pengalaman yang indah dan kami temukan lagi satu tempat yang memberi ketenangan –Bukit  Awan-Paku– begitu  kami menamainya.

#The End.












3 komentar:

  1. what a great experience!! thank for belong with me..
    a very nice writing, i feel like i'm doing it again and again while i read this..

    BalasHapus
  2. So am I. You're welcome, kak. I'm grateful for this nice experience. By writing it, then I felt success to make it everlasting memories :D.
    I wish we could do another expedition somewhere. Just wait someday..^__^

    BalasHapus