Minggu, 30 November 2014

Tentang Resah dan Penyesalan

Kau tahu, ada sebuah penyesalan yang akan ku sesali seumur hidup..,
Aku tlah memberikan ruang untuk sebuah lembaga di universitas ku.  Ruang untuk mengabdi. Lembaga itu alasan kaki ku ingin selalu melangkah kepadanya, lembaga itu tempat aku belajar tentang rasa hormat, peduli, tanggung jawab, persaudaraan, keluarga, dan pengabdian. Ku temukan tempat yang mengisi hari – hari ku lebih bermakna dan lebih hidup dari semester – semester sebelumnya.

Aku terlalu apatis, paranoid untuk mengemban amanah menjadi seorang pengurus. Hal – hal yang membuat ku takut tak lain karena aku sekarang sudah di semester akhir (yang normalnya sudah harus fokus ke skripsi dan penelitian), ditambah lagi tuntutan orang tua yang tiap kali menelpon selalu mengingatkan ku untuk menyelesaikan studi se-segera mungkin.

Apa yang kusesalkan?
Ah, entah mulai dari bagian mana untuk mengungkapkan rasa yang abstrak itu, terkadang aku tak mampu menerjemahkan perasaan yang ku rasa. Hingga kutemukan sendiri jawaban dari hari – hari yang tlah berlalu. Sampai saat ini, aku resah karena tak mampu berbuat apa – apa, yang tersisa hanyalah penyesalan. Mungkin normalnya, aku bisa dibilang terlambat bergabung di lembaga itu.  Aku bergabung di tahun ke-tiga kuliah ku. Alangkah bahagianya teman – teman ku yang bergabung di tahun ke-duanya, alangkah banyaknya kesempatan yang bisa diperolehnya untuk belajar dari lembaga itu. Sementara Aku? Merasa dibatasi oleh waktu. Mungkin rasa takut ini sempat tertangkap saat wawancara untuk menjadi pengurus di periode sebelumnya, ia..aku tidak memaksimalkan tekadku. Alhasil, aku memang ditolak untuk menjadi pengurus di periode itu.

Sekarang tahun keempatku. Bisa dibilang kesempatan terbuka lebar untuk ku bergabung di kepengurusan. Namun apa yang ku lakukan? Bukan memberanikan diri dan membulatkan tekad, malah semakin menjauh dan tambah apatis!. Langkah ku terhenti ketika dua orang teman dekat ku memutuskan untuk tidak lagi jadi pengurus – Seorang teman yang masih tahun ketiga dan seorang lagi seangkatan denganku, namun tidak seangkatan di lembaga itu–Aku takut, karena aku merasa tidak punya teman untuk melangkah dan berjuang bersama. Alasan itu yang lebih kuat dibanding alasan karena semester akhir dan tuntutan orang tua. Aku tlah belajar dari Mitch Albom tentang “It’s never too late or too soon, it is when it’s supposed to be”. Aku yakin siapa pun yang telah membaca buku itu akan bersikap open-minded dan tak akan menyerah meski tlah di akhir perjuangannya. Namun ku akui, Aku Apatis!..,“Aku butuh teman untuk melangkah”, itu yang menggagalkan langkahku untuk ruang pengabdian yang (mungkin) tidak akan terisi penuh karena belum ku kecap dinamika di kepengurusan. Aku butuh teman karena rasa paranoid semakin menggunung untuk tidak diterima di atmosfir lembaga ku. Atmosfir kekeluargaan yang sepertinya terselubung tebal dan tak mampu ku tembus untuk menjadi bagian dari ‘mereka’. Aku apatis karena menghindari ‘atmosfir’ itu.

Ia,. Aku apatis dan paranoid. Mungkin yang kupikirkan tak akan seburuk yang kubayangkan, mungkin jika aku (memberanikan diri) melangkah ke atmosfir kepengurusan akan ku temukan hal – hal luar biasa yang bertolak belakang dari apa yang kubayangkan. Tentu saja, karena lembaga ku penuh dengan cinta kasih.

Hufft,. Tinggallah aku di sini, dengan sebuah resah dan penyesalan yang masih tersisa. Aku Virninda, Anggota aktif. Bila kau tanya apa yang tersisa dari pengalaman ku di lembaga itu, selama 2 periode menjadi anggota,.jawabnya “La ya mutu wa La Yahya”. Aktif! seperti tidak hidup, namun juga tidak mati.



*sekian..,Aku berharap bisa memperbaiki kesalahan dari penyesalanku di tahun terakhirku. Aku berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik ^__~

Dari ruang hati yang terdalam.
(30/11/2014)

0 komentar:

Posting Komentar